FUROSHIKI?

 

Furoshiki
 Furoshiki (Jepang) atau Pundutan (bhs Banjar, Kalimantan Selatan)-Bunthelan (Jawa), adalah selembar kain persegi untuk membungkus dan membawa barang. 
Furoshiki dapat digunakan berulang kali dan tidak mengganggu lingkungan kita.
                                                                                                              
Furoshiki dapat menggantikan kantong plastik atau kertas kado sebagai pembungkus dan membawa barang



Bedakah Furoshiki-Pundutan dengan kain lap atau serbet?

Beda pasti.

Furoshiki-Pundutan, sebatas untuk membungkus dan membawa barang, biasanya kainnya lebih bagus dan kuat. Bahan terbuat dari katun, chirimen atau silk. Bahkan di Jepang furoshiki terbuat dari sutra yang dilukisi. Tentunya sangat mahal harganya,  apalagi ditambahi dengan lambang keluarga.

Furoshiki sheet, Japan design

 
Lap, Serbet, kain Pel

Kain lap,  biasanya selembar kain untuk menyeka, menghapus serta membersihkan sesuatu yang mengotori, seperti lantai, kaca jendela dll. Umumnya terbuat dari bahan katun, disain sederhana,  yang penting menyerap air/cairan/kotoran  lebih banyak dan membersihkan dengan baik.



Serbet, setahu saya digunakan untuk membersihkan dan mengeringkan sesuatu bagian tubuh, seperti tangan, bibir karena noda makanan atau basah. Tidak seharusnya untuk digunakan pada wajah.

Serbet kadang juga digunakan untuk mengeringkan peralatan makan/memasak atau untuk mengeringkan kulit buah, seperti  tomat, apel, jeruk dll.

 
Tradisi memundut



Pundutan  di Kalimantan juga sejenis furoshiki. Fungsinya sama dalam masyarakat, hanya saja variasi cara mengikat masih sebatas ikatan dasar (lotus) serta tidak memiliki status ekonomis maupun sosial seperti di Jepang.

Pundutan berasal dari kata Pundut (bhs Banjar -Kalimantan, kata kerja  artinya bungkus).  Selembar kain untuk membawa barang berbagai bentuk, sejak dulu dikenal dengan cara dipundut/ dibungkus. Pembungkus atau Pundutan (kata benda dari pundut) yang banyak  dikenal tentunya adalah daun, lalu kertas. Biasanya untuk membungkus makanan seperti kue atau lauk. 

Ada lagi pundutan untuk membawa barang, biasanya berupa kain berbentuk persegi. Jika berbentuk kantong seperti karung, sebutannya kadut. Ini semacam sack 
Kini,  kebiasaan membawa barang dengan dipundut kain agak menghilang, karena serbuan plastik kantong.  Masyarakat menganggap lebih murah, praktis dan tak perlu dicuci,setelah pakaibisa langsung dibuang saja.

Dalam masyarakat di Kalimantan, termasuk  yang merantau ke luar pulau, tradisi ini masih ada,  kebiasaan memundut barang ini dengan kain, terutama untuk menghantarkan makanan matang, atau juga barang hadiah lainnya.  Hanya saja sudah tak banyak lagi.

Mungkin merasa lebih repot, karena pundutan musti dicuci, sedangkan plastik sangat praktis, jika tidak diperlukan dapat dibuang, karena tidak mahal. Sayangnya, plastic sangat merugikan, karena menjadi tumpukan sampah yang sulit dihancurkan. Malah memerlukan waktu ratusan tahun.

Maka tak salah kalau Pundutan - Bunthelan sama dengan Furoshiki di Jepang dan Bojagi/Pojagi di Korea. Sama sama merupakan kain persegi untuk membungkus dan membawa barang.

Jika kita kini menggunakan furoshiki juga, kita tak meniru Jepang atau Korea . Pundutan dan bunthelan itu ada dalam budaya kita juga. Pasti di daerah lain di Indonesia juga ada, seperti masyarakat Minangkabau yang membawa hantaran dalam kenduri dengan membungkusnya atau menutupi wadah hantaran dengan kain indah bersulam.

Bukankah kita juga punya 'budaya' baik yang bisa  sedikit ' menjaga bumi' dengan mengurangi pemakaian kantong plastic. Daripada memakai kantong plastik dan menjadikan tumpukkan sampah, padahal plastic  baru hancur lumat sekian ratus tahun.

Revitalisasi Furoshiki-Pundutan oleh Perempuan

Seandainya 'dibangkitkan kembali kebiasaan memundut ini" bisakah mengurangi penggunaan plastik? Kain pundutan-bunthelan  itu bisa dicuci dan bisa dipakai berulang kali.
Sangat indah, apalagi dengan variasi mengikatnya yang memungkinkan tiap barang mendapat sentuhan unik . Ditambah dengan ragam motif tekstil Indonesia, maka furoshiki Indonesia sangat potensial menyamai fungsi kertas kado & kantong plastic .
Berdasakan pengalaman memproduksi furoshiki, warga asing terutama Jepang menyukai furoshiki motif batik, sedangkan orang Indonesia menyukai motif khas Jepang seperti bunga bunga dan ragam hias konvensional lainnya.

Perempuan dan kantong plastik
Sehari hari, dapat diduga perempuan Indonesia jauh lebih banyak memerlukan alat untuk membungkus dan membawa barang dibandingkan dengan pria. Mengapa demikian? Asumsi saya, perempuan Indonesia masih berperan besar dalam kegiatan berbelanja, untuk menyelenggarakan kegiatan keluarganya maupun untuk kegiatan sosial seperti membawa hantaran, membungkus makan siang untuk dibawa suami, anak, memberikan hadiah ulang tahun dll. Hampir semua kegiatan itu setidaknya memerlukan kantong plastik dan kertas kado..

Peserta perempuan pada Pelatihan furoshiki di Plaza Senayan, Jak Japan Matsuri,  Jakarta,2012

Untuk kegiatan sehari hari itu, perempuan sangat banyak memerlukan kantong plastik. Artinya kita, prempuan  penyumbang sampah tak terurai paling banyak.

Ada baiknya kita, para perempuan mulai memikirkan ‘beban bumi’ ini dengan mulai memakai alternative seperti furoshiki.
Kita Ibu Bumi, yang menyayangi,  kita Ibu yang mempelopori.
Kita lah perempuan yang punya inisiatif awal.


Mengapa kita tak memulai menguranginya dengan memakai furoshiki?

Jika kita perempuan memulainya, anak kita atau keluarga dekat kita mungkin menyadari juga pentingnya menjaga lingkungan kita.  Kita, perempuan yang menjadi guru mereka.

Tidak banyak hambatan untuk menggunakan furoshiki. Cara membuat furoshiki dan bahannya pun mudah ditemukan di sekitar kita. Bisa dibuat dari kain apa saja.

Mengapa kita, perempuan Indonesia tak memulainya lagi? Sekaligus menjaga lingkungan kita sendiri.



 
Furoshiki di Jepang


Bangsa Jepang masih menggunakan furoshiki dalam kesehariannya, padahal negara ini sudah maju dan modern.

Bahkan Kementerian Lingkungan Jepang mengangkat furoshiki sebagai upaya untuk mengatasi tingginya pemakaian kantong plastic. Furoshiki sudah menjadi program yang didukung secara serius oleh pemerintah Jepang.

Di Jepang, masih ada perusahaan yang secara serius memproduksi furoshiki. Artinya secara ekonomis, pemakai(konsumen) masih cukup banyak.  Di Indonesia, Kedutaan Besar Jepang dalam kegiatan budaya seperti acara matsuri (festival) secara khusus memberikan perhatian pada kegiatan memperkenalkan furoshiki. Antara lain dengan memberikan kesempatan pada Yayasan Lantan Bentala untuk menyelenggarakan demo maupun pelatihan furoshiki. Oleh Yayasan Lantan Bentala, furoshiki tetap memakai nama lokal yaitu boenthelan dengan ejaan lama.


Furoshiki di Indonesia
Kini,  Furoshiki-Pundutan/ Bunthelan, saya tampilkan  untuk menyegarkan ingatan kita sekaligus memberikan ide, tips untuk membungkus dan membawa barang. Masih dalam tahap memperkenalkan kembali.  Masih ada pandangan kaget ketika kita membawa barang dengan kain, bukan kantong plastik! Kadang juga tatapan heran atau sedikit cemooh. Itu yang kami alami sebagai pengguna  furoshiki.
Tapi tentu saja ada sedikit yang tertarik, ingin tahu atau malah mulai mencari info dan belajar cara mengikat furoshiki.
Dengan menguasai ketrampilan membungkus gaya furoshiki, kini, kita tak tergantung pada kantong plastik, sekaligus mengurangi pemakaian kantong plastik yang jadi sampah sulit terurai itu.
Sayangnya, masih ada anggapan menggunakan kain sebagai alat membawa barang atau membungkus, merupakan gaya kampungan, tradisional, tidak gaya. Bahkan perlu dilupakan, karena sangat tidak modern dan praktis.
Pemerintah Jepang, melalui Kedutaan Besarnya di Indonesia bahkan secara rutin dan serius memperkenalkan furoshiki di Indoenesia dalam acara tahunan  Jak Japan Matsuri maupun acara lainnya. Malah pelatihan gratis furoshiki dilaksanakan dan peserta mendapat hadiah selembar furoshiki disain khusus.
Ida Syahranie sebagai trainer dalam Pelatihan Furoshiki untuk acara Jak Japan Matsuri 2012 di Plaza Senayan, Jakarta, (Japan Embassy)
Pelatihan Furoshiki dalam acara Jak Japan Matsuri 2012 di Plaza Senayan, Jakarta, organized by Japan Embassy
Demo furoshiki, Gandaria City, Jakarta 2011, Muri Record Sushi Eating Competition by Sushi Tei Restaurant support by Japan Embassy


 120 menit pelatihan furoshiki
Untuk memperkenalkan furoshiki dan masyarakat dapat menggunakannya, maka saya menyelenggarakan pelatihan cara mengikat kain furoshiki.
Dalam 120 menit Anda sudah bisa mempelajari 12 (dua belas) macam cara mengikat kain furoshiki menjadi bungkusan yang indah dan layak Anda banggakan.
Selain informasi tentang sejarah furoshiki, Paket pelatihan  furoshiki akan mengajarkan cara membungkus furoshiki sekaligus praktek bersama dan berlatih.
Pelatihan bersama sangat cocok untuk kegiatan pada saat arisan, kegiatan organisasi di kantor, PKK, komunitas hobby, kegiatan lebih luas seperti penyadaran pada sampah yang tak terurai dan alat pengganti kantong plastic pada komunitas tentang lingkungan.
Sudah banyak perempuan yang sadar betapa kantong plastik itu sangat merugikan lingkungan, tapi karena kita  sering tidak tahu apa alternative pengganti kantong plastik/tas kresek yg sering digunakan untuk belanja kebutuhan rumah tangga. Jadi, inilah saatnya, belajar dan mengenal furoshiki.



 









Wikipedia:
Furoshiki (風呂敷, furoshiki) are a type of traditional Japanese wrapping cloth that were frequently used to transport clothes, gifts, or other goods. Although possibly dating back as far as the Nara period, the name, meaning "bath spread", derives from the Edo period practice of using them to bundle clothes while at the sentō (public baths;public furo). Before becoming associated with public baths, furoshiki were known as hirazutsumi (平包), or flat folded bundle. Eventually, the furoshiki’s usage extended to serve as a means for merchants to transport their wares or to protect and decorate a gift.
Modern furoshiki can be made of a variety of cloths, including silk, chirimen, cotton, rayon, and nylon. Furoshiki are often decorated with traditional designs or by shibori. There is no one set size for furoshiki, they can range from hand sized to larger than bed-sheets. The most common sizes are 45 cm (17.7 inch) and 68–72 cm (26.7-28.3 inch).
Although there are still furoshiki users in Japan, their numbers declined in the post-war period, in large part due to the proliferation of the plastic shopping bag. In recent years, it has seen a renewed interest as environmental protection became a concern. Furoshiki are, however, commonly used to wrap and transport lunch boxes (bento) and often double as a table mat for the lunch.


My Furoshiki





created a new style of furoshiki, with two layers.